Lutung Yang Licik
Seekor lutung (kera hitam) berjalan terseok-seok di pasir. Akibat jatuh dari pohon, tubuhnya menjadi lemah tak bertenaga. Ia lapar sekali, sementara hutan masih jauh. Dengan memaksa diri, ia tiba di tepi muara sungai. Ia minum dengan rakusnya. “Kenapa kamu pucat lutung? Kamu sakit payah?” tegur seekor ayam hutan besar yang mematuk-matuk udang di tepi muara. “Ya, tolong terbangkan aku ke hutan di seberang muara ini,” pinta lutung. Ayam hutan merasa iba dan setuju, ia terbang membawa lutung yang berpegangan erat di kakinya.
Sesampainya di hutan, lutung tak mau melepaskan kaki ayam hutan. Ia bahkan mencabuti semua bulu ayam hutan yang berwarna kuning keemasan itu. Sang ayam hutan pingsan karena kesakitan. Dia sudah mati, pikir lutung. Kemudian bangkai ayam hutan disembunyikannya di dalam semak belukar, sementara ia pergi mencari api di dalam hutan.
Sang Ayam Hutan kemudian sadar. Dia menangis tersedu-sedu sebab kehilangan semua bulunya. “He, kenapa badanmu, siapa yang telah mencabuti bulu-bulumu?” tanya seekor sapi dengan heran. Ayam hutan menceritakan semua pengalamannya. Alangkah marahnya sapi terhadap perlakuan si lutung. “Kurang ajar!” Biarlah kuberi pelajaran lutung itu. Sembunyilah kau di tempat lain,” ujar sapi. Ayam hutan menurutinya. Ketika lutung datang membawa obor dan menanyakan di mana ayam hutan, sampi membohonginya. “Ayam hutan itu rupanya belum mati, ia berenang ke tengah laut,” kata sapi. Lutung meminta sapi mengantarnya ke gundukan batu karang di tengah laut, di mana ia mengira si ayam hutan bersembunyi. Dengan ramah sapi bersedia mengantarnya. Tanpa pikir panjang lutung naik ke punggung sapi yang kemudian berenang ke gundukan batu karang di tengah laut. Akan tetapi, setelah lutung loncat ke gundukan batu karan gitu, segera sapi meninggalkannya. “Semoga kau mampus disergap ikan gurita” ujar sapi. Lutung duduk di puncak batu karang dan menangis. “Mengapa kamu menangis?” tegur seekor penyu. “Aku heran, bagaimana kau dapat ke sini.” Aku naik sampan, kemudian sampanku terbalik dan aku terdampar disini,” jawab lutung berbohong. Karena kasihan, penyu mengantarkan lutung ke pantai. Lutung naik ke punggung penyu.
“Bagaimana kau dapat berenang dengan cepat?” tanya lutung. “Dengan kayuhan kaki-kakiku,” jawab penyu tanpa curiga. Ketika di pantai, lutung ingin melihat kaki penyu. Penyu setuju dan segera tubuhnya dibalikkan oleh lutung. Ternyata lutung segera meninggalkan penyu dalam keadaan terbalik. Ia bermaksud mencari harimau, karena hanya harimaulah yang dapat mengeluarkan daging penyu dari kulitnya yang keras itu.
Penyu menangis dan berteriak-teriak minta tolong. “Mengapa kamu?” tanya seekor tikus yang mendekat. Penyu lalu menceritakan pengalamannya. Tikus pun mejadi sangat marah terhadap lutung yang tak tahu membalas budi itu. Ia bersama tikus-tikus lain menggali pasir di bawah badan penyu, dengan harapan apabila air pasang naik penyu dapat membalikkan tubuhnya dengan mudah. Sementara menunggu kedatangan lutung, tikus-tikus itu menutupi tubuh penyu dengan tubuh mereka sendiri. Dan menari-nari sambil bersayir : “Mari kita ikut gembira ria … bersama sang lutung yang jenaka … yang berhasil menipu Raja Rimba … yang mengira betul ada penyu, padahala hanya kita yang ada…” Lutung yang datang bersama harimau sangan heran, dimanakah penyu? Mendengar syair tikus-tikus, harimau pun menjadi marah karena merasa ditipu. “Mana penyu yang kau katakan itu?” geramnya. Kemudian lutung itu diterkam oleh sang Harimau, dibawa lari kedalam hutan.
Anak Katak Hijau Yang Nakal
Dahulu kala di sebuah kolam yan luas tinggalah seekor anak katak hijau dan ibunya. Anak katak tersebut sangat nakal dan tidak pernah mengindahkan kata-kata ibunya. Jika ibunya menyuruhnya ke gunung, dia akan pergi ke laut. Jika ibunya menyuruhnya pergi ke timur, dia akan pergi ke barat. Pokoknya apapun yang diperintahkan ibunya, dia akan melakukan yang sebaliknya.
“Apa yang harus kulalukan pada anak ini” pikir ibu katak. “Kenapa dia tidak seperti anak-anak katak lain yang selalu menuruti kata orang tua mereka.”
Suatu hari si ibu berkata, “Nak, jangan pergi keluar rumah karena di luar sedang hujan deras. Nanti kau hanyut terbawa arus.”
Belum selelsai ibunya berbicara, anak katak tersebut sudah melompat keluar sambil tertawa gembira,”hore…banjir aku akan bermain sepuasnya!”
Setiap hari ibu katak menasehati anaknya namun kelakuan anak katak itu bahkan semakin nakal saja. Hal itu membuat ibu katak murung dan sedih sehingga dia pun jatuh sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah.
Suatu hari ketika dia merasa tubuhnya semakin lemah, ibu katak memanggil anaknya,”Anakku, kurasa hidupku tidak akan lama lagi. Jika aku mati, jangan kuburkan aku di atas gunung, kuburkanlah aku di tepi sungai.”
Ibu katak sebenarnya ingin dikubur di atas gunung, namun karena anaknya selalu melakukan yang sebaliknya, maka dia pun berpesan yang sebaliknya.
Akhirnya ibu katak pun meninggal. Anak katak itu menangis dan menangis menyesali kelakuannya, “Ibuku yang malang. Kenapa aku tidak pernah mau mendengarkan kata-katanya. Sekarang dia telah tiada, aku sudah membunuhnya.”
Anak katak tersebut lalu teringat pesan terakhir ibunya. “Aku selalu melakukan apapun yang dilarang ibuku. Sekarang untuk menebus kesalahanku, aku akan melakukan apa yang dipesan oleh ibu dengan sebaik-baiknya.”
Maka anak katak itu menguburkan ibunya di tepi sungai.
Beberapa minggu kemudian hujan turun dengan lebatnya, sehingga air sungai dimana anak katak itu menguburkan ibunya meluap. Si anak katak begitu khawatir kuburan ibunya akan tersapu oleh air sungai. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke sungai dan mengawasinya.
Di tengah hujan yang lebat dia menangis dan menangis. “Kwong-kwong-kwong. Wahai sungai jangan bawa ibuku pergi!”
Dan anak katak hijau itu akan selalu pergi ke sungai dan menagis setiap hujan datang. Sejak itulah kenapa sampai saat ini kita selalu mendengar katak hijau menangis setiap hujan turun.
Bende Wasiat
Harimau sedang asyik bercermin di sungai sambil membasuh mukanya. “Hmm, gagah juga aku ini, tubuhku kuat berotot dan warna lorengku sangat indah,” kata harimau dalam hati. Kesombongan harimau membuatnya suka memerintah dan berbuat semena-mena pada binatang lain yang lebih kecil dan lemah. Si kancil akhirnya tidak tahan lagi. “Benar-benar keterlaluan si harimau !” kata Kancil menahan marah. “Dia mesti diberi pelajaran! Biar kapok! Sambil berpikir, ditengah jalan kancil bertemu dengan kelinci. Mereka berbincang-bincang tentang tingkah laku harimau dan mencoba mencari ide bagaimana cara membuat si harimau kapok.
Setelah lama terdiam, “Hmm, aku ada ide,” kata si kancil tiba-tiba. “Tapi kau harus menolongku,” lanjut si kancil. “Begini, kau bilang pada harimau kalau aku telah menghajarmu karena telah menggangguku, dan katakan juga pada si harimau bahwa aku akan menghajar siapa saja yang berani menggangguku, termasuk harimau, karena aku sedang menjalankan tugas penting,” kata kancil pada kelinci. “Tugas penting apa, Cil?” tanya kelinci heran. ” Sudah, bilang saja begitu, kalau si harimau nanti mencariku, antarkan ia ke bawah pohon besar di ujung jalan itu. Aku akan menunggu Harimau disana.” “Tapi aku takut Cil, benar nih rencanamu akan berhasil?”, kata kelinci. “Percayalah padaku, kalau gagal jangan sebut aku si kancil yang cerdik”. “Iya, iya. Aku percaya, tapi kamu jangan sombong, nanti malah kamu jadi lebih sombong dari si harimau lagi.”
Si kelincipun berjalan menemui harimau yang sedang bermalas-malasan. Si kelinci agak gugup menceritakan yang terjadi padanya. Setelah mendengar cerita kelinci, harimau menjadi geram mendengarnya. “Apa ? Kancil mau menghajarku? Grr, berani sekali dia!!, kata harimau. Seperti yang diharapkan, harimau minta diantarkan ke tempat kancil berada. “Itu dia si Kancil!” kata Kelinci sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar di ujung jalan. “Kita hampir sampai, harimau. Aku takut, nanti jangan bilang si kancil kalau aku yang cerita padamu, nanti aku dihajar lagi,” kata kelinci. Si kelinci langsung berlari masuk dalam semak-semak.
“Hai kancil!!! Kudengar kau mau menghajarku ya?” Tanya harimau sambil marah. “Jangan bicara keras-keras, aku sedang mendapat tugas penting”. “Tugas penting apa?”. Lalu Kancil menunjuk benda besar berbentuk bulat, yang tergantung pada dahan pohon di atasnya. “Aku harus menjaga bende wasiat itu.” Bende wasiat apa sih itu?” Tanya harimau heran. “Bende adalah semacam gong yang berukuran kecil, tapi bende ini bukan sembarang bende, kalau dipukul suaranya merdu sekali, tidak bisa terlukis dengan kata-kata. Harimau jadi penasaran. “Aku boleh tidak memukulnya?, siapa tahu kepalaku yang lagi pusing ini akan hilang setelah mendengar suara merdu dari bende itu.” “Jangan, jangan,” kata Kancil. Harimau terus membujuk si Kancil. Setelah agak lama berdebat, “Baiklah, tapi aku pergi dulu, jangan salahkan aku kalau terjadi apa-apa ya?”, kata si kancil.
Setelah Kancil pergi, Harimau segera memanjat pohon dan memukul bende itu. Tapi yang terjadi…. Ternyata bende itu adalah sarang lebah! Nguuuung…nguuuung…..nguuuung sekelompok lebah yang marah keluar dari sarangnya karena merasa diganggu. Lebah-lebah itu mengejar dan menyengat si harimau. “Tolong! Tolong!” teriak harimau kesakitan sambil berlari. Ia terus berlari menuju ke sebuah sungai. Byuur! Harimau langsung melompat masuk ke dalam sungai. Ia akhirnya selamat dari serangan lebah. “Grr, awas kau Kancil!” teriak Harimau menahan marah. “Aku dibohongi lagi. Tapi pusingku kok menjadi hilang ya?”. Walaupun tidak mendengar suara merdu bende wasiat, harimau tidak terlalu kecewa, sebab kepalanya tidak pusing lagi.
“Hahaha! Lihatlah Harimau yang gagah itu lari terbirit-birit disengat lebah,” kata kancil. “Binatang kecil dan lemah tidak selamanya kalah bukan?”. “Aku harap harimau bisa mengambil manfaat dari kejadian ini,” kata kelinci penuh harap.”
Buaya dan Burung Penyayi
Buaya dan Burung Penyanyi bersahabat akrab. Hari ini mereka asyik bercakap. Burung Penyanyi bertengger di hidung Buaya. Namun beberapa saat kemudian, Buaya merasa mengantuk. Ia menguap dan membuka mulutnya lebar-lebar. Oh, Burung Penyanyi yang bertengger di hidung Buaya terpeleset masuk ke dalam mulut Buaya. Sayangnya, Buaya tidak tahu. Ia bingung mencari Burung Penyanyi yang kini tak ada lagi di hidungnya.
“Aneh! Ke mana Burung Penyanyi?” gumam Buaya. “Ia pasti sedang mengajakku bercanda,” Buaya melihat ke belakang, ke ekornya. Namun burung itu tidak ada. Buaya lalu mencari Burung Penyanyi di semak-semak. Ia memasukkan moncongnya ke semak-semak di tepi sungai. Namun Burung Penyanyi tetap tidak ditemukannya. “Ke mana ia?” gumam Buaya kembali.
Buaya akhirnya memejamkan mata untuk tidur. Tapi tiba-tiba terdengar senandung merdu yang keluar dari dalam dirinya. “Oh!” serunya heran. Matanya terbuka lebar. “Selama hidup, baru kali ini aku dapat bernyanyi. Wow, aku akan mengajak Burung Penyanyi sahabatku untuk bernyanyi bersama. Pasti akan sangat menyenangkan!”
Buaya kemudian asyik mendengarkan senandung yang keluar dari dalam dirinya. Setelah beberapa lama ia merasa lelah. Ia lalu membuka mulutnya, dan menguap lebar-lebar. Ketika akan menutup matanya, matanya melihat satu makhluk bertengger di hidungnya. Makhluk itu kelihatan sangat marah. Dia si Burung Penyanyi. “Kau jahat!” omel burung itu. “Mengapa kau tidak memberi tahu kalau ingin membuka mulut? Aku terjatuh ke dalam mulutmu, tahu? Menyebalkan!”
Buaya mengernyitkan dahi. “Jadi,” katanya, “Senandung yang terdengar dari dalam diriku itu suara senandungmu? Bukan senandungku?”
“Ya” jawab Burung Penyanyi. Ekornya digoyang-goyangkan. “Kau kan tahu, kau tidak bisa bernyanyi sama sekali! Suaramu sangat sumbang! Tak enak didengar!”
Buaya sangat sedih mendengar perkataan itu. Airmatanya menetes. “Aku pikir senandung itu suaraku,” katanya pilu. “Kau tahu, aku ingin sekali bisa bernyanyi. Dan tadi kupikir aku sudah bisa menyanyi. Ternyata? Oh, betapa malangnya aku yang bersuara buruk!”
Burung Penyanyi merasa iba. Ia segera mencari cara untuk menghibur sahabatnya itu. “Teman, bagaimana kalau kau membuat gelembung-gelembung air dan aku bersenandung? Kita lakukan bersamaan. Suara yang terdengar pasti sangat enak didengar.”
Buaya setuju. Ia lalu memasukkan moncongnya ke dalam air dan membuat gelembung-gelembung. Burung Penyanyi bernyanyi. Suara nyanyiannya sangat pas dengan suara gelembung-gelembung air yang dibuat Buaya. Buaya senang sekali. Dan sejak itu mereka berdua selalu melakukan hal itu setiap hari.
Dan, agar Burung Penyanyi masuk lagi ke dalam mulutnya, Buaya selalu memberitahu dulu sebelum membuka mulutnya. Wow, rukun ya mereka!
Buaya yang Serakah
Pada suatu hari di sebuah sungai, seekor buaya yang sedang mencari-cari mangsa. Sudah tiga hari ia tidak mencari mangsa. Sebelumnya ia mendapatkan seekor babi yang besar dan gemuk. Lalu tertidur pulas selama tiga hari karena kekenyangan.
Moncong buaya sudah dibuka lebar di sungai menanti kalau ada ikan yang lewat. Tetapi sudah lama ia menunggu mangsanya tak kunjung datang. Tidak berapa lama muncul seekor ikan gurame di dekat moncongnya. “Hai buaya! Kelihatannya kau lapar sekali!” sapa ikan gurame persis di depan mulutnya yang ternganga.
“Kebetulan sekali kamu datang. Perutku lapar sekali karena belum diisi.” ucap buaya dengan gembira. “Wahai buaya, kalau kau makan aku, pasti kau cepat lapar lagi. Bukankah dagingku tidak seberapa besar? Tetapi kalau kau ingin mendapat mangsa yang lebih besar lagi, diujung sana ada seekor itik yang sedang berenang. Tentu daging itik itu lebih besar dan lebih lezat daripada dagingku?” ujar ikan gurame memberi saran.
Buaya diam sejenak dan berpikir. Terbayanglah seekor itik yang besar dibandingkan dengan seekor ikan gurame. Buaya akhirnya mengikuti saran ikan gurame. Setibanya di dekat itik berada, ia langsung memburunya. Itik berlari ke darat untuk menghindari serangan buaya. Buaya terus mengejar, dan itik terdesak di sudut sebuah pohon. “Hati itik! Mau lari ke mana kamu?” gertak buaya.
“Jangan buaya! Janganlah kau mangsa aku, dagingku tidaklah seberapa besar. Kalau kau makan dagingku, pasti kau akan cepat lapar.” seru itik memohon. “Tetapi kalau kau ingin mangsa yang lebih besar dari aku, aku dapat menunjukkan di mana tempatnya.” “Tidak, aku sudah lapar sekali. Dagingmu kurasa cukup lumayan untuk mengisi perutku yang kosong ini.” ujar buaya yang sudah merasa lapar sekali. “Tunggu, tunggu dulu! Kalau kau ingin mangsa yang besar, di hutan sebelah sana ada seekor kambing yang besar dan gemuk. Bukankah daging kambing lebih lezat jika dibandingkan dengan dagingku?” usul itik.
“Baiklah, kalau begitu tunjukkan aku di mana kambing itu berada sekarang. Sebab aku sudah tak kuat lagi menahan lapar.” Buaya menyetujui usul itik, karena ingin mendapatkan mangsa yang lebih besar lagi. Itik berjalan menuju hutan dan buaya mengikuti dari belakang. Sampailah di hutan yang dimaksud. Di sana terlihat seekor kambing yang memakan rumput dan daun-daunan. Tubuh kambing itu lumayan besar dan kelihatan sehat dan segar. Perlahan-lahan ia mendekati kambing, sedangkan itik kembali ke sungai.
“Hai kambing! Sedang apa kau?” tanya buaya membuat kambing terkejut. “Aku sedang makan, memangnya ada apa?” jawab kambing sambil berhenti mengunyah rumput. “Aku juga mau makan.” ucap buaya sambil membuka moncongnya lebar-lebar. “Kalau begitu mari kita makan bersama. Rumputnya masih banyak jangan khawatir. Ayo kita makan!” ajak kambing itu. “Bodoh! Aku tidak suka makan rumput!” sahut buaya geram. “Lantas, kamu biasanya memakan apa?” tanya kambing lagi. “Aku suka makan daging. Mungkin dagingmu juga enak kalau kusantap. Alangkah lezatnya dagingmu.” kata buaya sambil membuka mulutnya.
“Tunggu dulu! Kalau kau ingin mangsa yang lebih besar dan lebih lezat, aku dapat menunjukkannya. Di hutan sebelah sana ada seekor gajah yang besar sekali. Bila kau dapat memangsangnya, kau pasti akan tahan beberapa hari tidak makan. Konon kabarnya daging gajah itu empuk dan sangat lezat rasanya.” bujuk kambing.
Buaya menyetujui bujukan kambing, karena terbayang akan mendapat mangsa yang lebih besar serta dagingnya empuk dan lezat. “Baiklah, sekarang tunjukkan aku di mana tempatnya?” seru buaya. “Baik, akan aku tunjukkan tempatnya, tapi aku tidak dapat mengantarkanmu karena aku belum selesai makan.” ucap kambing berdalih. “Ya, cepat tunjukkan saja arahnya.”
“Di sebelah barat sana di sana ada telaga. Disitulah tempat gajah-gajah berkumpul.” seru kambing. Buaya berlalu meninggalkan kambing untuk mencari gajah. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seekor kerbau. Lantas bertanya pada kerbau yang sedang berkubang itu. “Hai kerbau! Tahukah kau di mana tempatnya gajah berada? Kalau kau tahu tolong tunjukkan kepadaku,” sapa buaya pada kerbau. “Ada apa kau mencarinya?” tanya kerbau.
“Aku ingin sekali memakan dagingnya. Kata kambing, daging gajah itu empuk dan lezat rasanya.” Jawab buaya. “Baiklah kalau begitu, mari aku antarkan ke tempat gajah itu berada.” Ajak kerbau. Tibalah mereka di dekat telaga. Ada beberapa ekor anak gajah yang sedang minum air telaga. Kerbau pergi setelah menunjukkan tempatnya.
“Benar kata kambing. Gajah itu memang besar-besar. Aku pasti akan kenyang apabila dapat memakan seekor saja. Aku dapat tidur beberapa hari kemudian.” Seru buaya dengan perasaan gembira melihat mangsanya yang cukup besar-besar. Lalu didekatinya seekor anak gajah yang sedang minum itu.
“Hai gajah! cepat minumnya, karena aku akan segera memangsamu. Perutku sudah tak kuat lagi menahan lapar.” ucap buaya kepada anak gajah. Anak gajah itu kaget mendengar ancaman buaya, lalu berteriak memanggil induknya. Tidak lama kemudian beberapa ekor gajah besar datang ke tempat itu. “Ada apa anakku?” Adakah yang mengganggumu?” tanya salah satu gajah yang paling besar. “Ya, aku diganggu oleh buaya itu. Katanya dia akan memangsaku.” Seru anak gajah sambil menangis. “Apa? Kau ingin memangsa anakku?” kata gajah besar dengan marah. “Oh, rupanya ada yang lebih besar lagi. Kalau begitu kau saja yang kumangsa, supaya perutku kenyang!” seru buaya yang serakah itu. “Cobalah kalau dapat, wahai buaya yag serakah!”
Buaya lalu menyerang gajah besar. Moncongnya yang panjang dengan gigi-giginya yang tajam menyerang gajah besar. Gajah besar melompat dan menginjak perut buaya. Dengan belalainya yang panjang ia melilit moncong buaya itu. Ketika ekor buaya ingin menyambar tubuh gajah besar, kaki gajah besar menghadangnya lalu menginjaknya. Buaya jadi tak dapat berkutik, karena moncong dan ekornya tidak dapat bergerak. Sedang kaki-kaki gajah besar terus menginjak-injak tubuh buaya hingga tak bernapas lagi.
Gajah yang Jujur
Di negeri gajah, hiduplah sepasang gajah. Gajah itu bernama Arine dan Ronald. Dari hubungan Arine dan Ronald, lahirlah dua ekor gajah. Gajah itu bernama si Elie. Elie mempunyai seorang adik yang bernama Pitie. Pitie sering dimarahi dengan orang tuanya karena sering berbohong. Sedangkan Elie, seekor gajah yang jujur. Elie sering dibanggakan oleh semua orang terkecuali adiknya. Meskipun Elie dibanggakan oleh semua orang, ia tidak sombong. Ia menghahargai orang lain. Itulah mengapa si Pitie iri kepada kakaknya. Elie yang mengetahui seperti itu, terkejut. Ia memberitahu kepada adiknya bahwa semua orang memang berbeda. Tetapi, Pitie menghiraukan perkataan kakaknya.
Suatu hari, Elie mendapatkan rumput yang sangat banyak. Rumput itu kesukaan adiknya. Pitie, adiknya menjadi mempunyai rencana. Akhirnya, rumputnya ia pindahkan kepada rumput kakaknya secara diam-diam. Seolah-olah ia tidak tahu. Setelah waktunya makan malam, Pitie tiba-tiba berteriak: “Ibu, kakak telah mencuri rumputku!”. Lalu, Elie yang mendengar itu terkejut. Mencuri?, lalu, Ayah kedua anak itu datang. Ayah itu bertanya kepada mereka: “Apa benar Pitie, kalau kakakmu mencuri rumput kesayanganmu?” Lalu, balas Pitie: “Ya Ayah, kakak telah mencuri rumputku!” Lalu, Elie dengan berani berkata “Tidak, Aku tidak mencurinya.” Setelah itu, Mama menatap tajam kepada Pitie, lalu dengan tegas berkata kepadanya “Pitie, apakah itu benar?” Tiba-tiba Elie berkata kepada Mamanya: “Ma, apakah mama menambah rumputku malam ini?” Lalu, dengan balasan terkejut Ibunya berkata “Tidak sayang”.
“Kamu sudah bilangkan, kalau kamu tak mau makan banyak?” Lalu, akhirnya tetengga memberitahu Ibu, kalau Pitie berbohong. Akhirnya, Pitie di hukum, kalau ia tidak boleh memakan rumput banyak-banyak. Setelah kejadian itu, Pitie berjanji bahwa tak akan berbohong lagi.
Arti Sahabat
Pada suatu hari seekor burung Jalak sedang terbang dan hinggap di dahan pohon tersebut, ia berkicau memuji keindahan pohon tersebut “… wahai pohon begitu sempurna Tuhan menciptakanmu, kamu dianugrahi daun yang begitu lebat, batang yang kuat, buah yang berwarna-warni, bolehkah aku tinggal bersamamu untuk menikmati betapa segarnya buahmu…” Pohon itu menjawab “… wahai burung jalak tinggallah kau sesukamu, kau tinggal pilih buah mana yang kau suka…” Burung Jalakpun tinggal di pohon itu.
Tak lama kemudian datanglah burung Kenari dengan lantang dan dengan merdunya iapun memuji pohon itu “… Wahai pohon yang penuh dengan rahmat Tuhan, bolehkah aku tinggal bersamamu untuk sama-sama menikmati indahnya anugrah yang kuasa, begitu sempurna Tuhan memberikan karunia-Nya padamu…” Pohon itu merasa tersanjung dengan pujian burung kenari, iapun mempersilahkan tinggal didahannya.
Selang beberapa hari datanglah burung Pelatuk, tanpa basa-basi ia langsung mematuk dahan & ranting pohon itu, pohon itu menjerit kesakitan “hai.. pelatuk pergi kau dari tempatku, kau telah membuatku sakit… pergi kau ..” Burung pelatuk itu menjawab “.. wahai pohon, di dalam tubuhmu ada ulat aku harus mematuknya supaya kamu tidak sakit…” “…Tidak… pergi kau…!!! aku tidak butuh kamu, kamu hanya bikin aku sakit…” bentak pohon itu kepada burung pelatuk, burung pelatuk pun pergi meninggalakn pohon itu.
Tidak berapa lama kemudian pohon itu sakit, layu, daunnya yang dulu lebat kini kering kerontang, buahnya yang dulu ranum kuning keemasan dan menyegarkan kini jatuh berguguran.. burung jalak dan kenari yang biasanya tiap hari bernyanyi kini pergi meninggalkannya, pohon itu menangis kesakitan karena di makan ulat. Saat itulah burung Pelatuk datang “… wahai pohon tahanlah rasa sakitmu aku akan mengeluarkan ulat dalam tubuhmu, Burung pelatuk terus mematuk dahan dan batang pohon yang digerogoti ulat, meski kesakitkan ia biarkan burung pelatuk, mematuk dahan dan batangnya..
Akhirnya pohon itu kembali tumbuh, daun-daunnya mulai lebat, buah-buahnya mulai tumbuh…
Dari penggalan kisah diatas ada sebuah hikmah yang bisa kita petik :
“Seorang sahabat sejati akan selalu ada dikala kita susah, meski saat kita bahagia kita melupakannya, kadang sebuah kritikan, komplain yang ia berikan kepada kita adalah sebuah koreksi, peringatan bagi kita agar kita tidak salah dalam melangkah, namun kita tidak menyadari itu, kita justru terlena dengan sanjungan yang diberikan kepada kita yang justru itu menjadikan kita terpuruk, Sahabat sejati akan selalu ada dikala kita sedang susah, dia selalu memberikan inspirasi dan semangat kepada kita untuk berbenah, namun seorang teman ia hadir dikala kita sedang bahagia dan ia pergi dikala kita dahaga..”
Mimpi Anak Gajah
Sore itu aku telah menghabiskan seember rumput, hingga akhirnya mataku terasa berat saat malam menjelang. Sebelum aku tidur, mataku masih memandang gelapnya keadaan sekitar. Aku melihat ibuku tengah berbincang dengan teman-temannya. Badan ibu tampak lebih kecil dari mereka.
Malam semakin pekat warna hitamnya, benar-benar menggodaku untuk istirahat lebih cepat. Ku lihat mata ibu memandang ke arahku, dan mengisyaratkan agar aku segera tidur. Aku membalasnya dengan anggukan.
“Selamat malam ibu..”
“Naakk… ayo cepat larinya yang kencang!” teriak Ibu yang tengah berlari kencang, melintasi rumput-rumput tebal.
Siang itu semakin terik rasanya, keringat membanjiri tubuhku. Nafasku sudah tak beraturan. Kakiku yang besar mencoba terus melangkah lebih lebar dari biasanya. Sesekali aku mengeluh dalam hati, “Tuhan! Kenapa mereka mengejar kami.. Tuhan! Aku takut..”
Keluhanku hanya ku utarakan dalam hati. Sebab, ibu pernah bilang kalau mengeluh itu tak ada gunanya. Karena, yang lebih berguna saat terdesak seperti siang ini adalah berlari!
“Ibu… tunggu..” teriakku.
Aku melihat saudara-saudaraku juga ikut berlari, sekencang mungkin. Hingga membuat tanah itu bergetar, karena badan kami yang besar. Aku benar-benar kelelahan, hampir saja putus asa lalu berhenti. Tapi, aku takut tertangkap oleh jaring besar ataupun peluru yang diarahkan padaku oleh mereka. Mereka yang selalu saja mengejar untuk mengambil gading kami.
“Ibu… ibu, ibu dimanaa..?”
Aku mulai panik. Aku tak mendapati ibuku. Ia menghilang dari pandanganku. Apa karena kakiku yang tak sanggup mengejarnya, atau mereka terlalu banyak yang ikut berlari.
*tar!
Aku tersentak, saat mendengar suara letusan yang menggema di langit tengah hutan. Aku semakin panik, karena arah suara itu persis di saat terakhir aku masih melihat ibuku. Aku masih bersembunyi di balik semak yang lebat, walau tetap saja sebagian badanku masih tampak. Di sini, aku hanya bertiga dengan saudaraku. Wajah kami pucat pasi.
Suara orang-orang itu perlahan menghilang, aku mulai mengatur nafas lalu kami bertiga berjalan menuju kerumunan lain. Hutan tampak sunyi, berbeda dari 20 menit yang lalu saat kami melakukan adegan kejar-kejaran, mempertahankan hidup.
Sama seperti yang lain, setelah keluar dari tempat persembunyian kami mencari ayah, ibu ataupun saudara. Aku, hanya aku yang tidak dapat menemukan ibuku. Aku berlari cepat, menuju tempat suara letusan. Dan …
“Ibuuuu…” aku berteriak, air mataku deras keluar membasahi pipiku hingga belalai.
“Heii… banguunn!” suara yang ku kenal mendadak membuatku terkejut.
“Hah, Ibu?” tanyaku tak percaya.
“Malam-malam kok teriak-teriak? Ibu ada di sini nak, disampingmu.. Minumlah ini dulu” pinta Ibu sambil menyodorkan air yang ada di dalam tempurung kelapa.
“Aku mimpi?” tanyaku dalam hati.
“Kenapa kamu teriak nak?” tanya Ibuku.
“Ah tak apa-apa bu..” Aku tak berani mengatakan soal mimpiku, karena itu terlalu buruk bagiku. Aku bangkit dari tempat tidurku, lalu merebahkan diri lagi persis di samping ibuku. Aku meraih belalainya, lalu menyatukannya dengan belalaiku.
“Tuhan, jangan biarkan ibuku pergi terlebih dahulu, sebelum aku bisa mencari makan sendiri..” gumamku dalam hati, lalu kembali memejamkan mata.
Semut Kecil Kesepian
Semut kecil yang merasa kesepian, sendirian menerjang badai dan hujan, pahit kehidupan telah ia rasakan, kesabaran menjadi kunci untuk bertahan.
Tak mampu menentang kehendak tuhan, hanya menerima seikhlas hati, tertatih ia melangkah lalui hari demi hari, manatap langit dan bertanya “kapan semua ini akan berakhir?”
Semut kecil berjalan pincang, tetap melangkah maju ke depan, meski bebatuan tajam yang harus ia lalui, tak menyerah pada keadaan, pahit kehidupan hadapi dengan senyuman
Senyum berlapis tangis tawa menyembunyikan derita, jauh di lubuk hatinya menyimpan tanya “mengapa aku. Mengapa aku yang harus merasakan ini?” tetes air mata menyelimuti kesendiriannya
Semut kecil tak sama dengan yang lainya. Ia berbeda. Musibah yang menimpanya membuat ia tak berdaya. Hanya ketegaran hati yang mampu membuatnya tetap bertahan
Semut kesepian berdoa “tuhan ini memang salahku. Aku yang tak mampu menjaga tubuh ini, aku yang tak mampu memperbaiki kesalahan ini, aku memohon ampun padamu” andai aku boleh meminta berikanlah aku kesabaran berikan aku jalan, berikan aku teman, akan ku jaga semampuku apa yang telah engkau titipkan”
Semut kecil menghapus air matanya, dan ia tersenyum. Dan berkata di dalam hati. “aku pasti mampu dan aku tak akan pernah menyerah”
Burung Pipit yang Sombong
Di hutan ada seekor burung, Pipit namanya. Ia tinggal sendirian di rumah. Ayah dan ibunya sudah meninggal. Pipit mempunyai sifat sombong. Ia tak pernah membantu orang lain, saat orang lain meminta pertolongannya. Ia juga suka pamer barang-barang baru yang dimilikinya. Dan dia juga jarang menyapa temannya yang lain, saat bertemu dengan temannya yang lain di jalan.
Karena sifatnya yang sombong dan tak peduli. Pipit dijauhi teman-temannya. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Pipit pun suka main sendiri. Dan saat pergi jalan-jalan dan bertemu teman-temannya, Pipit selalu dibicarakan teman-temannya, dengan sikap sombongnya itu.
Suatu hari Pipit bertemu dengan Luna, semut merah yang sangat baik hati. Semut merah yang suka menyapa orang, jika bertemu dengannya di jalan, langsung menyapa Pipit yang kala itu berpapasan dengannya.
“Siang pipit. Mau pergi kemana?” Tanya si Luna dengan lembut.
Burung Pipit yang sombong langsung memalingkan muka, begitu melihat Luna. Ia terus berjalan. Pipit tak peduli pada Luna yang menyapanya.
“Kalau saja kamu bisa sedikit baik hati pada orang lain, kamu pasti punya banyak teman. Tak perlu sendirian saat pergi bermain.” Kata Luna sedih.
Mendengar kata-kata Luna, Pipit tersinggung. Pipit marah. Pipit merasa diejek oleh Luna. Dengan cepat Pipit membalikkan badan. Pipit berjalan mendekati Luna.
“Apa katamu tadi?! Kau bilang aku sombong. Tidak punya teman?” Pipit mengarahkan tangannya pada wajah Luna. Pipit jelas terlihat sangat marah. “Asal kau tahu. Aku bukannya tidak punya teman. Tapi aku tak mau berteman dengan mereka. Mereka kotor dan bau. Mereka miskin. Mereka tak punya baju bagus seperti yang kupakai ini.” Pipit memeperlihatkan pakaiannya yang sangat bagus pada Luna. “Sebaiknya aku pergi saja. Tidak penting bicara dengan semut merah, yang kotor dan bau.”
Setelah kalimat terakhir, Pipit pergi meninggalkan Luna. Pipit pergi dengan sikap sombongnya.
Setelah pipit pergi, Luna menggelengkan kepalanya dan berucap, “Pipit, kau sangat sombong sekali. Kau pikIr, kau bahagia dengan sikap sombongmu. Meski kami tidak kaya sepertimu, tapi kami saling membantu sama lain.”
Luna pergi dengan perasaan sedih.
Setelah kejadian itu, Pipit selalu membuat orang lain sedih. Pipit selalu mengejek teman-temannya. Ia selalu mengejek pakaian yang dikenakan teman-temannya itu jelek. Pipit selalu mengejek dan mengusir pergi teman-temannya, yang datang ke rumahnya. Dengan sikap sombong Pipit yang berlebihan, teman-temannya tak ada yang mau bermain dengannya. Teman-temannya tak mau menolong Pipit, jika Pipit ada kesulitan. Suatu hari, Pipit yang baru saja mencari makanan bertemu dengan Haci, si lebah madu muda. Haci berniat menolong Pipit, dengan membawakan makanan Pipit. Tapi Pipit langsung marah saat mau ditolong Haci. Pipit mengira, Haci akan mengambil makanannya. Dengan sombong dan galak, Pipit menarik makanannya dan menyembunyikannya di balik bajunya. Pipit juga membentak Haci.
“Hey, Haci! Kalau mau makan cari sendiri! Jangan ambil makanan orang lain!” bentak Pipit dengan kasar dan keras.
Haci bingung mendengar kata-kata Pipit. Haci cuma mau berniat menolong Pipit membawakan makanannya, malah dituduh mau mengambil makanan milik Pipit. Haci pun menjelaskan pada Pipit, kalau dia cuma mau berniat menolong membawakan makannanya.
“Tidak Pipit. Aku tidak mau mengambil makananmu. Aku Cuma mau menolong membawakan makananmu. Karena aku lihat, kau kerepotan membawa makanan sebanyak itu.” Ucap Haci sabar. Dia tidak marah pada Pipit, yang menuduhnya mau mencuri.
Karena sikap sombongnya sudah terlalu besar, Pipit tak percaya pada Haci. Pipit pergi meninggalkan Haci. Setelah kejadian itu, Pipit mulai bercerita pada teman-teman yang lain, kalau Haci, si lebah madu muda itu, mau mengambil makanan yang ia cari dengan berkerja keras. Tapi, untunglah. Teman-teman Haci tak terhasut oleh ucapan Pipit. Teman-teman Haci tidak percaya kalau Haci mencuri. Teman-teman Haci malah tidak percaya pada ucapan Pipit.
Beberapa hari kemudian Pipit hendak mencari makanan. Kebetulan persediaan makanannya sudah habis. Pipit pun pergi jauh dari tempat tinggalnya untuk mencari makanan. Pipit terbang ke sana kemari. Tapi tak ada satupun makanan yang dia temukan. Sampai-sampai Pipit kelelahan. Pipit berniat istirahat sebentar. Pipit pun hinggap di sebuah pohon rindang dan teduh. Selang beberapa saat ia istirahat di pohon rindang itu, ia mendengar sebuah suara. Awalnya Pipit mengira kalau suara itu cuma angin. Tapi lama-lama perasaannya tidak enak. Ia yang memejamkan matanya, langsung membuka matanya dengan cepat, saat sebuah suara yang mirip dengan desisan ular itu terdengar di telinganya. Saat Pipit membuka matanya, ia terkejut melihat ular besar tengah memandangnya. Ular itu mendesis, menjulurkan lidahnya. Karena kaget dan takut, Pipit langsung jatuh ke bawah.
“Arrrggghhh…” Jerit Pipit kesakitan. Ternyata sayap kiri Pipit patah. Pipit semakin takut dan bingung. Karena ular besar itu turun dari pohon rindang, dan mendekati Pipit. Pipit duduk diam. Memandangi ular besar, yang berjalan semakin dekat dengannya. Pipit berpikir, mungkin dia akan mati dan dimakan oleh ular besar itu. Karena sayap kirinya patah, membuat pipit tak bisa terbang dan meloloskan diri dari ular besar itu. Pipit memejamkan matanya dan menunggu dirinya dimakan ular besar itu.
“Pipit lari!”
Pipit mendengar suara Haci. Ia seperti sedang bermimpi. Kalau Haci akan menolongnya dari ular besar itu.
“Pipit lari!”
Bahkan suara Luna masih ia dengar dalam benaknya.
Pipit tersentak saat bahunya ditarik. Secepat itu, Pipit membuka matanya. Sekarang dia sudah jauh dari ular besar itu. Pipit melihat Haci kelelahan karena menarik tubuhnya yang lebih besar dari tubuh Haci.
“Sekarang kau sudah aman. Teman-teman dan aku akan melawan ular besar itu. Kau tunggu disini.” Ucap Haci setelah menarik tubuh Pipit, menjauh dari ular besar itu.
Pipit melihat Haci bergabung dengan teman-temannya untuk melawan ular besar itu. Luna juga ikut melawan ular besar itu. Pipit melihat semua teman-temannya yang sering ia hina, sekarang sedang membantunya dari kejahatan ular besar, yang mau memakannya.
Setengah jam kemudian ular besar itu berhasil diusir. Dan ular besar itu pergi dari tempat itu. Haci, Luna dan teman-temannya yang lain mendekati Pipit. Pipit duduk pada sebatang kayu. Pipit memegangi sayap kirinya yang patah.
“Terima kasih.” Ucap pipit malu-malu pada Haci, Luna dan teman-temannya.
“Terima kasihlah pada Haci. Karena dia yang melihat kamu mau dimakan ular besar itu. Saat melihat itu, Haci langsung terbang dan menemui kami. Ia bilang kalau kamu akan dimakan ular besar. Cepat-cepat kami pergi kemari dan menolongmu. Dan kami berhasil mengusir ular besar itu.” Ucap Luna lembut.
“Terima kasih, Haci.” Ucap Pipit.
“Tidak perlu berterima kasih. Bukankah kita semua teman. Dan teman harus menolong temannya yang sedang kesusahan.” Jawab Haci yang disambut tepuk tangan teman-temannya.
“Haci, maafkan aku. Aku sudah menuduhmu mencuri makananku.” Pipit meminta maaf pada Haci. “Dan juga, aku sudah bersikap sombong pada Luna dan yang lainnya. Aku minta maaf. Dan aku akan berubah.”
“Tidak apa-apa. Aku tidak marah kok. Dan aku senang kalau kau mau berubah.” Ucap Haci.
“Menjadi Pipit yang baik hati.” Timpal Luna.
“Dan tidak sombong.” Tambah teman-temannya yang lain.
Haci, Pipit, Luna dan teman-temannya tertawa gembira. Sekarang Pipit sudah tidak bersikap sombong lagi. Pipit juga sudah mau berteman dengan yang lainnya. Dan Pipit juga tidak mengusir temannya yang datang ke rumah. Semuanya berakhir bahagia, dengan tawa yang disambut senja.
Kancil yang Bijaksana
Di sebuah hutan, hiduplah seekor Kancil yang besar dan gemuk. Kancil itu dikenal sangat baik dan suka menolong oleh hewan-hewan lainya. Selain itu Kancil juga hewan yang cerdik. Kancil selalu membantu dan menolong temannya yang akan menyeberangi danau, karena Danau itu dijaga oleh seekor buaya yang sangat besar dan rakus.
Pada suatu hari, saat Kancil pergi untuk mencari makan. Tiba-tiba Kancil mendengar temannya minta tolong di sekitar danau. Lalu Kancil berlari cepat menghampiri temannya. Ternyata lagi-lagi Buaya itu tidak memperbolehkan hewan lain masuk ke wilayahnya, dan selalu mengancam siapapun yang masuk ke wilayahnya akan dimakan.
Tiba-tiba Kancil melihat ikan kecil di tepi Danau. Lalu Kancil mengambil ikan kecil itu tanpa sadarnya buaya. Lalu, Kancil melempari ikan-ikan kecil itu kepada buaya agar buaya itu memakan ikan kecil itu dan tidak sadar bahwa Kancil dan temannya menyeberangi Danau itu melewati punggung Buaya. Lalu Kancil mengantarkan temannya mencari makan.
Teman-teman Kancil bangga memiliki teman yang bijaksana. Teman kancil yang di tolong tadi berterima kasih kepada Kancil, sampai akhirnya Kancil di juluki Kancil yang bijaksana.
Membagikan Telur
Siang itu, rumah si kembar Delancey (Dela) dan Stacey (Aci) yang sibuk dikejutkan oleh seseorang. “Halo, anak-anak! sibuk sekali kalian sampai pamanmu ini tidak dibukakan pintu,” kata sosok misterius itu. “Paman Mbul! Lihat tadi pagi kami menemukan ini di kebun,” ujar Dela sambil menunjukkan sebutir telur warna-warni pada pamannya itu.
“Aku yakin sekali pasti si kelinci putih yang memberikan ini untuk kami,” ucap Aci.
“Telur itu bagus sekali! Tapi apakah kalian pernah bertanya kenapa kita, khususnya kelinci, sering membagikan telur?” kata Paman Mbul.
“Ceritakan dong Paman!” sahut si kembar bersamaan.
Ceritapun dimulai…
Zaman dulu sekali… pernah terjadi panen tahunan gagal karena secara tiba-tiba serangga-serangga hama datang. Akhirnya, semua warga kelaparan. Mereka sudah mencoba banyak cara. Memancing? Yang didapat hanya ikan yang kecil sekali. Berburu? Yang didapat hanya hewan bertulang dilapisi kulit. Sulit sekali sampai-sampai para penghuni hutan pun merasakannya.
Satu-satunya makanan yang bisa ditemukan di hutan hanya telur milik Pak Beruang Kikir. Ia memiliki 100 ayam hutan petelur yang bertelur setiap harinya. Para penghuni hutan tentu saja membeli pada Pak Beruang. Tapi, Pak Beruang menaikkan harganya setiap harinya, sehingga para penghuni hutan yang miskin tidak mampu membelinya. Banyak penghuni hutan yang kelaparan itu mencoba mencuri telur itu, tapi tidak pernah ada yang berhasil. Telur Pak Beruang semakin mahal dan penghuni hutan semakin putus asa, sampai akhirnya cita Kelinci mengeluh pada temannya Lusi Terwelu di rumahnya.
“Coba lihat ini, Lusi! Baju ini sudah lebih mirip daster! Lebih besar 3 kali dari ukuran sebenarnya,” ungkap Cita.
“Ah… mungkin maksudmu badanmu yang tinggal tulang berbalut kulit? Nggak usah ngomong deh! Semua warga di sini juga kurus seperti papan,” bantah Lusi sambil mengecat mainan kayu yang ia buat.
“Kecuali Pak Beruang Kikir. Setiap pagi ia menyimpan telur-telur segar,” ucap Cita.
“Hei, itu dia! Pagi-pagi sekali sebelum ia mengambil telurnya, kita akan mengambilnya. Kau berbicara dengan Pak Beruang sementara aku menggali lubang di kandang ayam itu dan mengambil telur itu,” usul Lusi.
“Setuju…!” sahut Cita sambil menjabat tangan Lusi yang belepotan cat.
Maka keesokkan paginya, pagi-pagi sekali, rencana itu pun dilaksanakan. Sementara cita mengobrol dengan Pak Beruang, Lusi mengambil kelima puluh telur dari lubang yang ia buat.
Rencana itu berhasil! Mereka pulang membawa kelima puluh telur itu. Tapi, ketika Cita meminta bagiannya, ia mendapat kejutan…
“Bagianmu? Kau kan cuma mengobrol, dan lagipula yang punya ide ini kan bukan kau, tapi aku,” bantah Lusi.
Dengan penuh kekesalan, Cita pergi dari rumah Lusi. Siang itu, Lusi yang hendak memakan telur-telur itu kaget ketika melihat Pak Beruang dan Maro Marmut si detektif sedang berkeliling mendatangi rumah-rumah penduduk. Mereka sudah dapat dipastikan sedang mencari si pencuri telur. Segera Lusi mengejar Cita dan mengajaknya masuk ke rumahnya.
Mereka amat ketakutan dan berusaha mencari tempat untuk menyembunyikan telur-telur itu. Tanpa sengaja, Cita tersandung mainan kayu Lusi dan telur-telur itu jatuh ke kaleng-kaleng yang berisi cat.
Kecelakaan ini menyelamatkan jiwa Cita dan Lusi. Ketika Pak Beruang dan Maro Marmut memeriksa di rumah Lusi, ternyata yang ada adalah telur-telur berwarna dan tentu saja Pak Beruang mengatakan itu bukan telur-telurnya yang hilang.
“Ini khusus untuk warga hutan! Aku mendapatkannya dari pamanku di hutan sebelah,” ucap Cita.
“Hmm… ide bagus Cita! Semoga Pak Beruang dapat mencontohnya,” kata Maro.
Maka Pak Beruang pun mengikuti hal itu. Ia membagikan telur secara gratis. Begitu juga ke desa manusia. Dan untuk mencegah terjadinya kelaparan, khususnya di musim kemarau (April), para kelinci membagi-bagikan telurnya.
Begitulah Paman Mbul mengakhiri kisahnya.
“Ooo… jadi begitu rupanya, kukira para kelinci bertelur,” kata Aci.
“Memang tidak! Kelinci itu beranak, tapi anak-anak mereka yang akan menjadi penerus tradisi ini,” sahut Paman Mbul.
“Tapi, yang pasti,” lanjut Paman Mbul, “Cerita ini ingin berpesan agar kita sebagai generasi penerus hendaknya melakukan yang baik seperti para pendahulu kita. Dan jangan pelit tentunya.”
0 Komentar